Penjara Buat Guru
Oleh: Embun Pagi
Sungguh, saya prihatin, menyimak kabar seorang guru di Sidoarjo dipidanakan karena mencubit seorang murid. Lebih prihatin lagi, tidak sedikit pengguna media sosial memposisikan kasus ini secara vis a vis. Mempertentangkannya secara tajam.
Patut disadari, menjadi guru adalah beban yang berat. Menghadapi murid-murid yang tidak seragam, betapapun tiap pagi mereka memakai seragam. Murid-murid datang dari berbagai latar belakang, kelas sosial, aneka lingkungan dan pendidikan keluarga yang berbeda-beda. Guru harus menangani itu semua sepanjang umur kerja mereka.
Pertama saya akan bilang, guru adalah manusia biasa. Mereka bisa salah, alpa, khilaf atau mungkin juga lelah. Di titik ini, kita harus bersepakat dulu, guru bukanlah mahluk yang sempurna, sebab memang mahluk yang sempurna itu tidak ada. Jika kita sudah bersepakat, maka kita akan masuk pada pertanyaan, bagaimanakah menanggapi ketidaksempurnaan itu?
Untuk kasus mencubit murid saya akan katakan, ini memang tindakan yang sukar untuk dibenarkan. Tindak kekerasan kepada murid tetaplah tak boleh ditoleransi. Apakah melancarkan tindak kekerasan, -yang bagi sebagian orang dianggap kadar 'ringan'-, adalah bagian dari metode mendidik anak?
Hukuman tentu diperbolehkan, tapi hukuman tidak berarti kekerasan, terlebih kepada anak. Jika mendidik harus menyediakan kekerasan sebagai opsi yang bisa dipakai, peradaban macam apa yang sesungguhnya ingin kita capai? Jika kekerasaan disyahkan, sejak itu pula kita tak punya hak moral bila ada murid menggunakan kekerasan kepada sesamanya. Tawuran pelajar misalnya.
Namun setiap kesalahan tentunya selalu punya batas toleransi. Sayangnya batas toleransi tiap orang tua memang berbeda-beda. Ada orang tua yang bisa menerima bila anaknya 'sekedar' dicubit, tapi ada juga yang tidak. Ada orang tua yang memilih mediasi dan komunikasi dalam memecahkan persoalan semacam ini, ada yang mutlak-mutlakan membawanya ke ranah pidana.
Satu hal yang tak boleh dilupakan pula. Sampai hari ini kita hidup dalam sistem pendidikan yang masih jauh dari paripurna. Dalam sistem yang masih rapuh ini, guru-guru kita belum secara keseluruhan dibekali keterampilan mumpuni untuk mengatasi segala persoalan melalui cara-cara persuasif. Oya, kita pun tak selalu bisa bersikap persuasif bukan? Guru pun mesti menanggung beban berjubel ini itu.
Di tengah sistem yang masih jauh dari paripurna, lantas hari ini kita menyaksikan satu sikap nol toleransi terhadap kesalahan. Mencubit harus berimbal jeruji penjara. Mungkin ini yang disebut arogansi. Mungkin juga pihak yang berbeda hendak mengejar efek jera.
Tanpa usaha saling memahami dan dialog, rasa-rasanya mereka yang ingin memenjarakan guru ini telah memposisikan diri sebagai sekumpulan manusia yang paripurna. Bahkan mungkin mendekati sempurna. Namun, jika benar sempurna, lantas kenapa anak-anakmu itu masih bisa berbuat nakal?
No comments:
Post a Comment