Mendadak Finlandia
Oleh Delianur
Andai seperti itu faktor penyebab pendidikan Finlandia menjadi nomor wahid di dunia, maka semestinya semudah itu juga cara memperbaiki kualitas pendidikan kita. Jam belajar tinggal dikurangi, murid jangan dikasih PR, usia sekolah dimulai umur 7 tahun dan guru mesti bergelar master.
Kita tidak usah menuntut pemerintah dan dunia industri adanya cuti melahirkan atau cuti menyusui. Karena di Finlandia, perhatian terhadap anak dimulai ketika anak itu dalam kandungan. Ibu diberikan cuti melahirkan sampai anaknya umur 2 tahun dengan gaji full. Karenanya mereka bisa konsentrasi mengurus anak nya sejak dini. Anak tidak lagi diberi susu hewani, tapi dia mendapat ASI secara sempurna selama dua tahun. Anak bagi mereka qurrata a'yun karena hubungan kasih sayang dibina sejak dini.
Di sini, kita jangan dulu bertanya ada tidaknya cuti menyusui. Angka kematian bayi dan Ibu melahirkan saja masih tinggi. Ibaratnya, bayi Indonesia itu sejak dalam kandungan saja sudah mendapat ancaman kematian dirinya atau ditinggalkan Ibunya. Bila dia terlahir selamat, adalagi ancaman vaksin palsu.
Lalu bila anak sudah besar, mereka terancam dieksploitasi orang tuanya. Karena tidak sedikit orang tua yang menempatkan anaknya sebagai aset, bukan tempat limpahan kasih sayang. Bila dia orang kaya, maka anaknya dimasukkan berbagai macam kursus, sekolah bisnis terkenal, ditekan untuk terus belajar, demi melanjutkan bisnis orang tuanya. Sedangkan anak dari kalangan ekonomi lemah, usai sekolah dia akan bekerja atau mencari uang di jalan untuk membantu ekonomi keluarga.
Kita juga tidak perlu repot-repot meributkan budaya penghormatan terhadap guru. Karena di Finlandia, guru itu selain bergelar master dan gajinya tinggi, dia juga lulusan terbaik. Profesi guru adalah profesi yang sangat dihargai.
Di sini, apa yang dipikirkan orangtua berkaitan dengan masa depan anaknya? Apakah mereka mendorong anaknya menjadi guru atau malah mendorong anaknya menjadi eksekutif di perusahaan tambang, multinational company, PNS, BUMN? Ketika anaknya pintar, apakah mereka didorong untuk kuliah di Universitas kependidikan atau Universitas umum?
Di sini jadi guru itu pilihan ke sekian. Guru bukan hanya bergaji kecil, tapi terancam dijotos orangtua murid kalau dia keliru memperlakukan anak didik. Bahkan ketika Pak Menteri (yang telah diganti) dipuji orang dengan gerakan mengantar anak sekolah di awal tahun ajaran baru, para guru justru sedang tertekan karena intervensi banyak pihak yang ingin memasukkan anaknya dengan cara yang tidak fair.
Kita tidak usah menuntut pemerintah dan dunia industri adanya cuti melahirkan atau cuti menyusui. Karena di Finlandia, perhatian terhadap anak dimulai ketika anak itu dalam kandungan. Ibu diberikan cuti melahirkan sampai anaknya umur 2 tahun dengan gaji full. Karenanya mereka bisa konsentrasi mengurus anak nya sejak dini. Anak tidak lagi diberi susu hewani, tapi dia mendapat ASI secara sempurna selama dua tahun. Anak bagi mereka qurrata a'yun karena hubungan kasih sayang dibina sejak dini.
Di sini, kita jangan dulu bertanya ada tidaknya cuti menyusui. Angka kematian bayi dan Ibu melahirkan saja masih tinggi. Ibaratnya, bayi Indonesia itu sejak dalam kandungan saja sudah mendapat ancaman kematian dirinya atau ditinggalkan Ibunya. Bila dia terlahir selamat, adalagi ancaman vaksin palsu.
Lalu bila anak sudah besar, mereka terancam dieksploitasi orang tuanya. Karena tidak sedikit orang tua yang menempatkan anaknya sebagai aset, bukan tempat limpahan kasih sayang. Bila dia orang kaya, maka anaknya dimasukkan berbagai macam kursus, sekolah bisnis terkenal, ditekan untuk terus belajar, demi melanjutkan bisnis orang tuanya. Sedangkan anak dari kalangan ekonomi lemah, usai sekolah dia akan bekerja atau mencari uang di jalan untuk membantu ekonomi keluarga.
Kita juga tidak perlu repot-repot meributkan budaya penghormatan terhadap guru. Karena di Finlandia, guru itu selain bergelar master dan gajinya tinggi, dia juga lulusan terbaik. Profesi guru adalah profesi yang sangat dihargai.
Di sini, apa yang dipikirkan orangtua berkaitan dengan masa depan anaknya? Apakah mereka mendorong anaknya menjadi guru atau malah mendorong anaknya menjadi eksekutif di perusahaan tambang, multinational company, PNS, BUMN? Ketika anaknya pintar, apakah mereka didorong untuk kuliah di Universitas kependidikan atau Universitas umum?
Di sini jadi guru itu pilihan ke sekian. Guru bukan hanya bergaji kecil, tapi terancam dijotos orangtua murid kalau dia keliru memperlakukan anak didik. Bahkan ketika Pak Menteri (yang telah diganti) dipuji orang dengan gerakan mengantar anak sekolah di awal tahun ajaran baru, para guru justru sedang tertekan karena intervensi banyak pihak yang ingin memasukkan anaknya dengan cara yang tidak fair.
No comments:
Post a Comment