Urgennya Latihan, Latihan, dan Latihan Menulis: Oleh-oleh dari Semiloka Menulis di Pasuruan dan Surabaya (1)
Oleh Hernowo Hasim
“Saya menulis untuk mengubah pikiran.”
-Rhenald Kasali-
Kata-kata provokatif RK (Rhenald Kasali) itu saya temukan di buku Meylin (2010) karyanya. Menurut RK, dia menulis memang untuk mengubah pikiran orang-orang yang membaca tulisannya. Kita tahu bahwa RK adalah ahli manajemen perubahan. Bukunya Change! (Januari 2007) meledak di pasaran dan menghadirkan “brand” (merek) baginya. RK kemudian identik dengan persoalan pentingnya berubah atau memahami perubahan. Karya-karyanya pun hampir semuanya membahas tentang dunia yang terus berubah. Jika kita tidak mau berubah maka perubahan akan membunuh kita.
Bagi saya pribadi, kata-kata RK yang saya kutip itu memiliki arti khusus. Setiap kali saya menulis, saya ingin mengubah pikiran saya. Jika toh tulisan saya dapat mengubah pikiran orang lain, itu tujuan berikutnya. Sejak saya merumuskan mengikat makna pada tahun 2001, kegiatan menulis telah membantu saya dalam mengubah pikiran—bahkan diri—saya. Khususnya ketika saya menuliskan atau “mengikat” makna yang saya peroleh dari membaca teks. Ketika saya memasukkan kandungan teks (lewat membaca), mungkin saja pikiran saya sudah berubah. Tetapi begitu saya mengeluarkan teks (secara spontan) lewat menulis, perubahan pikiran itu sangat-sangat terasa.
Pemikiran seperti itulah yang saya siapkan dan saya bawa ke Jawa Timur ketika bertemu dengan ratusan guru. SAYA INGIN MENGUBAH PIKIRAN PARA GURU! Lewat apa? Lewat semiloka—yang menekankan benar urgennya latihan—menulis. Saya merasakan sekali bahwa para guru—yang benar-benar berminat untuk mampu menulis—selama ini telah terjebak pada teori-teori menulis. Mereka hanya berusaha mengerti tentang sebuah teori menulis (brain memory) tetapi tidak mempraktikkan teori-teori tersebut (muscle memory). Teori atau konsep menulis tetap bagus dan sangat bermanfaat, tetapi teori tidak akan mampu mengubah diri menjadi mahir menulis. Yang dapat mengubah diri adalah latihan-latihan menulis yang teratur, konsisten, dan berkelanjutan. Daniel Coyle menyebutnya sebagai “deep practice”.
Semiloka menulis saya kemudian saya manfaatkan untuk memperkenalkan tiga model latihan menulis. Pak Mohammad Ihsan, mantan Sekjen IGI (Ikatan Guru Indonesia) yang kini mengelola Media Guru, menyebut pelatihan saya itu sebagai pelatihan basic. Ya, Pak Ihsan memang sudah dua kali ikut pelatihan menulis saya. Bahkan ketika Pak Ihsan ikut pelatihan menulis yang pertama, dia benar-benar terlibat melakukan praktik menulis yang saya anjurkan meski tidak utuh. Saya setuju bahwa pelatihan menulis saya memang lebih menyentuh ke dasar-dasar menulis: menulis untuk mengungkapkan (“membuang”) pikiran orisinal, pentingnya membaca, dan bagaimana pikiran orisinal itu kemudian dapat membangun sebuah gagasan (keunikan).
Model latihan menulis pertama saya sebut sebagai Menulis Untuk Membuang. Mengikuti pemikiran Peter Elbow dan Natalie Goldberg, model latihan pertama ini juga dapat disebut sebagai latihan free writing (menulis mengalir bebas). Intinya, bagaimana kita dapat menulis yang tidak bebas (yang terikat dan harus sesuai dengan teori dan konsep yang benar) jika kita belum pernah merasakan menulis yang sangat bebas? Tujuan saya melatih “free writing” ini ada tiga: Pertama, berupa latihan fisik menulis (mengetik) agar mampu mengalirkan pikiran secara spontan dan nyaman. Ke dua, berupa latihan menata emosi atau mood (non-fisik) agar terus memiliki sikap positif dan nyaman ketika menulis. Dan ke tiga, latihan memproduksi pikiran orisinal—lawan dari pikiran jiplakan—yang nantinya diperlukan ketiga menjalankan latihan menulis model ketiga (yang sangat menentukan).
Model latihan ke dua saya sebut sebagai latihan Mengikat Makna. Mengikat makna sesungguhnya adalah sebuah konsep atau teori. Konsep apa? Konsep membaca dan menulis yang disinergikan. Bagi saya, menulis yang baik dan berkualitas (menulis yang dapat menghasilkan tulisan yang unggul dan unik) adalah kegiatan menulis yang harus dibarengi dengan membaca teks. Jadi, dalam latihan model kedua ini titik tekannya memang ada pada kegiatan membaca. Pertanyaan penting yang sering saya ajukan di latihan ini adalah “Apa yang Anda peroleh ketika Anda selesai membaca?” Jika memang ada yang diperoleh dari membaca, segera “ikat” (tulis) dan tunjukkanlah.
Model latihan ke tiga adalah Menulis Untuk Mengeksplorasi Pikiran. Latihan di model ketiga ini persis sama dengan latihan menulis mengalir bebas di model pertama tetapi perlu menentukan topik atau materi terlebih dahulu. Jika model pertama tanpa topik, model ke tiga ini disertai penentuan topik. Begitu topik ditentukan, pikiran kemudian dieksplorasi lewat menulis mengalir bebas agar menghasilkan gagasan atau ide (keunikan). Dan latihan model ketiga ini tak mungkin dapat dijalankan secara efektif apabila latihan model 1 dan 2 belum dijalankan secara mendekati sempurna.
Sampai kapan (perlu waktu berapa lama) latihan ini dapat menghasilkan manfaat atau berdampak signifikan terhadap meningkatnya kemahiran menulis? Jawaban saya: Bukan sampai kapan (atau perlu sekian minggu atau bulan) yang saya pentingkan; tetapi, saya sangat menganjurkan agar model-model latihan menulis tersebut dapat dilakukan setiap hari secara berselang-seling selama 10 hingga 15 menit. Yang akan membuat diri kita sukses dalam berlatih menulis (ada kemajuan dan dampaknya) adalah kemauan atau tekad yang sangat kuat, konsistensi, dan keteraturan (kontinuitas).
No comments:
Post a Comment